Warta Humas Polri
Berau, Kalimantan Timur – Aktivitas pertambangan batu bara yang dilakukan oleh PT. Bara Jaya Utama (BJU) kembali menjadi sorotan tajam. Perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, diduga melakukan perusakan terhadap Hutan Kota Mayang Mangurai, yang seharusnya menjadi kawasan konservasi dan penyangga ekosistem wilayah tersebut.
Hasil investigasi di lapangan mengungkap bahwa aktivitas tambang yang dilakukan PT. BJU telah mengubah kawasan hijau menjadi lubang-lubang bekas galian tambang tanpa adanya reklamasi. Akibatnya, dampak lingkungan yang ditimbulkan semakin parah, mulai dari pencemaran udara, peningkatan risiko banjir bandang, hingga kehancuran ekosistem yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan satwa liar di sekitarnya.
Tak hanya itu, dugaan keterlibatan oknum pejabat daerah dalam aliran dana hasil pertambangan ilegal semakin memperkuat indikasi adanya praktik pelanggaran hukum. Seorang anggota DPRD Berau, yang juga merupakan ketua salah satu partai di kabupaten tersebut, diduga menjadi aktor menerima aliran dana dari aktivitas tambang ilegal yang batu baranya dijual ke PT. BJU, APH diminta usut tuntas.
GWPI minta Aparat Penegak Hukum Bertindak Tegas
Gabungan Wartawan Profesional Indonesia (GWPI), melalui ketuanya Dege, dengan tegas meminta Aparat Penegak Hukum (APH), mulai dari Polda Kalimantan Timur hingga Mabes Polri, untuk segera mengusut tuntas dugaan kejahatan lingkungan dan praktik pertambangan ilegal ini.
"Kami meminta Polda Kaltim dan Mabes Polri untuk segera bertindak. Jangan biarkan praktik perusakan lingkungan ini terus terjadi tanpa sanksi hukum yang tegas. Jika dibiarkan, kerusakan yang terjadi akan semakin parah dan berdampak luas bagi masyarakat," tegas Dege.
Dampak Serius bagi Lingkungan dan Masyarakat
Aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. BJU tanpa memperhatikan aspek lingkungan telah menyebabkan berbagai dampak serius, antara lain:
Pencemaran Udara – Debu dan emisi dari aktivitas tambang meningkatkan polusi udara, membahayakan kesehatan masyarakat.
Banjir Bandang – Hilangnya hutan sebagai penyerap air meningkatkan risiko bencana banjir yang mengancam pemukiman.
Kehancuran Ekosistem – Deforestasi menyebabkan satwa liar kehilangan habitat, mengganggu keseimbangan ekologi.
Selain itu, PT. BJU juga diduga menjadi penadah atau pembeli batu bara dari tambang ilegal yang beroperasi tanpa izin (tambang koridor). Dugaan ini diperkuat dengan laporan warga yang menyebutkan bahwa aktivitas ilegal ini telah berlangsung lama dan melibatkan sejumlah pihak, termasuk oknum pejabat daerah yang diduga menerima aliran dana untuk melancarkan operasional tambang ilegal.
Desakan untuk Penegakan Hukum dan Pemulihan Lingkungan terus disampaikan
Hingga saat ini, PT. BJU masih terus beroperasi tanpa adanya upaya reklamasi lahan bekas tambang. Padahal, sesuai dengan peraturan yang berlaku, perusahaan wajib melakukan reklamasi guna mengembalikan fungsi ekologis lahan yang telah dieksploitasi. Jika tidak segera dihentikan, kerusakan lingkungan di Berau akan semakin parah dan membahayakan kehidupan masyarakat sekitar.
Masyarakat bersama GWPI menuntut penyelidikan dan tindakan hukum yang tegas terhadap semua pihak yang terlibat, baik dari kalangan perusahaan, tambang ilegal, hingga oknum pejabat yang diduga menerima aliran dana. Langkah ini tidak hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menyelamatkan lingkungan dan melindungi hak-hak masyarakat.
GWPI menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga aparat penegak hukum benar-benar mengambil tindakan nyata. "Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan terus mengawasi dan memastikan keadilan ditegakkan, agar praktik tambang ilegal dan perusakan lingkungan ini tidak dibiarkan terus terjadi," pungkas Dege.
Masyarakat kini menanti langkah konkret dari aparat penegak hukum. Akankah kasus ini diusut hingga tuntas, atau justru kembali tenggelam dalam ketidakpastian?
Bersambung
Tim.